Perkembangan Studi Perilaku Manusia Berbasis
Positivisme dan Kontribusinya bagi Perumusan Siasat Budaya
Pendahuluan
Apa
itu siasat budaya? Bagaimana siasat budaya seharusnya dirumuskan? Dua
pertanyaan ini adalah pertanyaan yang memiliki banyak jawaban tergantung pada
bagaimana budaya itu dirumuskan dan ke arah mana ia ingin di arahkan. Sebagian
mungkin berpendapat bahwa kebudayaan adalah apa yang ada di masyarakat dan
tidak perlu dibutuhkan suatu siasat untuk mengarahkannya. Interaksi antar
masyarakat telah menjadi suatu kebudayaan dan siasat budaya itu sendiri
merupakan bagian dari kebudayaan. Perumusan siasat budaya karenanya tidak lain
merupakan sebuah gerakan kecil dalam kolam budaya dari pihak-pihak tertentu
yang berkepentingan. Ada juga yang bisa berpendapat kalau suatu kebudayaan
adalah bentuk yang dapat dimanipulasi dan karenanya mesti dikembangkan secara
sadar jika ingin memberikan hal-hal positif yang diinginkan oleh masyarakat
(misalnya Peursen, 1976). Disini dapat dijustifikasi mengenai pentingnya siasat
budaya. Ada nuansa kepentingan dalam argumen
kedua. Sebagai contoh, siasat budaya Hollywood (Nicoli, 2009) dan standarisasi
(Charman, 1998) dibuat oleh AS untuk mempertahankan imperialisme ekonominya,
siasat budaya nasional dan budaya maritim dibuat oleh Indonesia untuk
mempertahankan konsep kesatuan bangsa, modernisme digunakan sebagai siasat
budaya untuk mengkristenisasi Afrika (Becker, 2004), dan partisipasi politik
digunakan sebagai siasat budaya untuk mengislamisasi Indonesia (Machmudi,
2006). Kedua pendapat berangkat dari paradigma berbeda dalam memandang dunia.
Pendapat pertama menempatkan pengamat sebagai seorang yang berada di luar
masyarakat, bersifat netral dan tidak mengganggu. Pandangan ini adalah ciri
khas dari positivisme yang menempatkan pengamat sebagai pihak yang semestinya
mampu mempelajari sesuatu tanpa mempengaruhinya atau dipengaruhinya (Sale,
Lohfeld, dan Brazil, 2002). Sementara itu, pendapat kedua menempatkan pengamat
sebagai desainer kebudayaan. Ia mampu mengubah kebudayaan dengan strategi yang
tepat. Ini adalah ciri khas dari konstruktivisme yang menempatkan pengamat
sebagai pihak yang selalu dipengaruhi dan mempengaruhi apa yang ia pelajari
(Sale et al, 2002).
Berdasarkan
tema dari milangkala ini, penulis akan berpendapat kalau paradigma positivisme
dapat digunakan untuk merancang siasat budaya. Karenanya suatu perumusan siasat
budaya bukanlah sebuah domain khusus dari konstruktivisme. Hal ini telah
ditunjukkan sebenarnya lewat pengembangan teknologi oleh para peneliti
positivisme lewat penelitian mereka dalam ilmu alam. Perumusan siasat budaya
karenanya merupakan sebuah tempat berjabatan tangan antara kedua paradigma
berbeda ini.
Dalam
tulisan ini saya akan berbagi beberapa pelajaran yang saya peroleh lewat studi
literatur mengenai hasil-hasil studi positivis, khususnya dalam bidang perilaku
manusia. Pelajaran ini datang atas bantuan situs sciencedaily.com, sebuah situs
database berita hasil penelitian terbesar di internet. Sebelum memberikan
sejumlah perkembangan di bidang ini, penulis akan menggariskan mengenai apa itu
positivisme. Saya juga akan menggariskan sejumlah kritik terhadap positivisme
yang menurut saya dapat disertakan dalam tulisan ini.
Paradigma
Positivisme
Paradigma
positivisme secara sintaksis dibawakan oleh Auguste Comte, seorang sosiolog
dari masa pertengahan. Walaupun terminologi ini dimunculkan oleh beliau, akar
pemikiran positivisme dapat dirunut hingga ke Aristoteles yang berbicara
mengenai penalaran deduktif. Descartes dan Galileo juga ikut menyumbang dalam
pemikiran positivis lewat mengedepankan realisme dan metode ilmiah. Setelah
Comte, pemikiran positivisme berkembang menjadi positivisme logis oleh
Lingkaran Vienna (Moritz Schlick, Otto Neurath, Kurt Godel, dan Rudolf Carnap)
di awal abad ke-20, penalaran induktif oleh Francis Bacon, dan post-positivis
oleh Karl Popper (Mack, 2010).
Positivisme
berpendapat bahwa kepastian pengetahuan hanya dapat dipercayakan pada dakuan
berdasarkan pada indera, karenanya untuk membatasi kesalahan, ilmu harus
dibatasi pada deskripsi inderawi mengenai pengalaman (Yanow, 2006). Syarat
utama dari positivisme adalah penemuan sebuah realitas tunggal yang eksternal
dari pengamat (Hawkesworth, 2006). Dunia kemudian dibagi menjadi relung empiris
dan relung non-empiris. Relung empiris mencakup hal-hal yang dapat diamati
sementara relung non-empiris mencakup hal-hal yang tak teramati seperti agama,
filsafat, etika, estetika, dogma, dan mitos. Ilmu sosial sendiri merupakan
relung empiris yang dapat diamati dengan dibatasi pada deskripsi, eksplanasi,
dan prediksi yang dapat diuji intersubjektif sehingga dapat mencapai
pengetahuan objektif (Hawkesworth, 2006). Dalam perkembangannya terakhir yaitu
post-positivisme, tujuan dari sains menjadi falsifikasi yaitu sesuatu yang
empiris adalah sesuatu yang dapat dibuktikan salah, setidaknya secara teori
(Hawkesworth, 2006).
Positivisme
dalam ilmu sosial telah didiskreditkan oleh banyak pemikir sebagai sesuatu yang
tidak relevan dengan realitas sosial yang kompleks. Walau begitu, metode yang
diusungnya (pengamatan dan eksperimen) terus menerus diusung dalam
literatur-literatur metode penelitian (Schwartz-Shea, 2006). Adanya penekanan
ini sebenarnya menunjukkan kalau positivisme dalam ilmu sosial bukanlah sesuatu
yang mati. Ada banyak penelitian yang menggunakan metode statistik dalam ilmu
sosial dan dibagian metodologi mereka tidak perlu menjelaskan bagaimana
landasan filosofis dari penelitian mereka. Sementara itu, penelitian-penelitian
kualitatif ataupun yang menggunakan paradigma berbeda umumnya mati-matian
menjelaskan kalau paradigma yang mereka pilih lebih baik dari positivisme
sebagai usaha justifikasi pendekatan mereka. Tampaknya ada kecenderungan kalau
para pengusung metode alternatif (konstruktivisme) dalam hatinya yang paling
dalam mempercayai kalau dasar dari dunia adalah positivistik, yaitu adanya
sebuah realitas tunggal. Konstruktivisme hanyalah penjelasan sementara karena
dunia sosial begitu kompleks. Dalam kerangka yang munafik seperti ini, masih
ada beberapa peneliti sosial yang serius memandang dunia sosial yang kompleks
tersebut tetap dalam kacamata positivis secara konsisten. Teori perilaku
manusia menggunakan paradigma positivisme karena mencoba menemukan hubungan
antar variabel dengan metode eksperimental (Ross dan Morrison, 2003).
Penjelasan
berikut akan menggambarkan bagaimana positivisme dalam sosial diserang
habis-habisan sebagai sebuah paradigma yang buruk.
Analisis
Atas Positivisme
Positivisme
bertopang pada penalaran induktif.
Induktif artinya mengambil dari suatu kasus kemudian menggeneralisasinya pada
situasi lainnya yang lebih luas. Penalaran semacam ini dikritik karena sifat
dunia yang dinamis dan arah waktu yang selalu bergerak maju. Karena adanya
waktu, maka dua peristiwa yang berada dalam dua waktu berbeda tidak mungkin
sama. Karenanya peristiwa yang telah dipelajari dengan seksama pada masa lalu,
tidak dapat digeneralisasi pada peristiwa di masa depan (Hawkersworth, 2006).
Atas
adanya kelemahan dari penalaran induktif tersebut, sebuah studi positivis hanya
dapat menemukan korelasi dan tidak mungkin menemukan sebab akibat yang pasti
dalam dunia sosial. Apa yang bisa dilakukan sains sosial berparadigma
positivisme hanyalah menemukan korelasi walaupun peneliti mendaku kalau
metodenya menemukan hubungan kausal (misalnya metode SEM – Structural Equation
Modelling). Hubungan kausal ini hanya bersifat maya dalam artian hubungan
terlihat dalam persamaan matematis yang diharapkan mewakili realitas. Padahal
seorang pengisi kuesioner dapat berbohong atau konstruk yang digunakan untuk
mengukur bisa salah. Tidak mungkin pula peneliti sosial melakukan eksperimen
karena alasan-alasan humanistik (misalnya kita tidak mungkin menguji coba obat
tertentu yang secara teori mampu menyembuhkan suatu penyakit pada manusia
dengan terlebih dahulu menjadikan manusia itu sakit agar memenuhi syarat
menjadi subjek penelitian).
Independensi
pengamat juga mendapat kritik pedas. Seorang pengamat tidak mungkin bebas dari
lingkungannya karena kerja otak manusia membutuhkan sebuah masukan dari dunia
luar. Masukan ini diolah oleh otak dan memberikan reaksi pada persepsi manusia
yang mengindera. Manusia selalu punya harapan, antisipasi, dan konjektur
terhadap dunia luar dan ini merupakan bukti kalau ia tidak dapat independen
dari apa yang ia amati (Hawkersworth, 2006).
Tiga
kelemahan positivisme ini: penalaran induktif, hubungan korelasional, dan
keterikatan pengamat pada yang diamati tidak menyentuh pada asumsi dasar
positivisme yaitu ada satu realitas yang objektif. Adalah mungkin membayangkan
kalau realitas tunggal ini ada hanya metode penalaran kita belum memenuhi (hal
ini biasanya diatasi dengan mengajukan teori yang bersifat deduktif namun
inipun memiliki ketidakpastian mengenai bagaimana mengenali sebuah teori itu
universal atau tidak). Kita juga dapat membayangkan kalau hubungan sebab akibat
itu ada, toh kita terpengaruh oleh dunia fisik non sosial yang bersifat
sebab-akibat seperti batu yang selalu jatuh walaupun dilatih untuk terbang
(argumen Aristoteles dalam Nicomachean Ethics). Kita hanya tidak mampu
menemukannya dengan perangkat teknologis ataupun teoritis (theory of
everything) yang dapat melakukan eksperimen sebab-akibat yang seratus
persen meniru realitas tanpa menyisakan satu ruangpun bagi variabel
tersembunyi. Begitu juga, kita dapat membayangkan adanya dunia objektif yang
tidak dapat diindera oleh pengamat-pengamat (seperti dunia objektif versi
agama). Atas alasan ini kita dapat memandang positivisme sebagai metode yang
tetap hidup dan mengejar idealismenya yang tidak pernah dapat terkejar.
Selangkah ilmu maju, dua langkah cakrawala menjauh. Tetapi walau bagaimanapun
kita tetap maju. Manusia adalah bagian dari alam dan teknologi telah
menunjukkan kalau alam berperilaku positivistik, kenapa manusia harus berbeda?
Perkembangan
Studi Perilaku Manusia Berbasis Positivisme
Dalam
sepuluh tahun terakhir, sejumlah penelitian perilaku manusia berbasis
positivisme memberikan hasil menarik. Studi literatur penulis memberikan
sejumlah temuan sebagai berikut.
Perilaku
Balas Dendam pada Pihak yang Tak Bersalah Disetujui secara Moral
Cushman,
Durwin, dan Lively (2012) melakukan studi pada para penonton baseball mengenai
pendapat mereka terhadap kasus moral dalam permainan baseball. Kasus yang
terjadi dalam dunia nyata adalah saat pertandingan antara Chicago Cubs dan St.
Louis Cardinals. Seorang pelempar Cubs dengan sengaja melempar bola dan
mengenai pemukul Cardinals. Pada giliran kedua, pelempar Cardinals membalas
dendam dengan melempar pemukul Cubs. Para ilmuan melaporkan kalau 44 % fan
menyetujui perilaku tersebut sebagai perilaku yang adil walaupun pemukul Cubs
adalah pihak yang tidak bersalah dan tidak terlibat dalam kasus pertama. Ketika
balas dendam dilakukan pada tim lain (bukan Cubs), hanya 19% responden yang
setuju kalau itu adalah perilaku yang adil. Ketika para responden diminta
memilih mana yang lebih adil: membalas dengan melempari pemukul Cubs (tidak
bersalah namun sama-sama pemukul) atau membalas dengan melempari pelempar Cubs
(pihak yang bersalah), 39% masih setuju kalau metode pertama termasuk adil,
sementara 70% setuju kalau metode kedua juga adil. Ketika ditanya dalam sampel
berbeda apakah pembalasan dendam ini adil, 61% setuju. Namun apakah pemukul
Cardinal yang menjadi korban balas dendam tersebut memang bersalah, hanya 18%
yang setuju. Lebih lanjut, 92% setuju kalau pelempar pertama (pelempar
Cardinal) adalah pihak yang bersalah.
Dalam
eksperimen lain, 131 fan tim Red Sox diminta menilai keadilan dari dua
tindakan. Pertama adalah kasus dimana tim Red Sox membalas dendam karena
seorang anggotanya dilempar pada tim lawan. Kedua adalah kasus dimana tim Red
Sox menjadi pihak yang bersalah karena pertama kali melempari tim lawan dan
menilai apakah tim lawan berhak membalas dendam. 67% orang setuju untuk kasus
pertama dan hanya 43% setuju untuk kasus kedua.
Para
ilmuan menyimpulkan kalau hal ini juga menjelaskan perilaku mafia Italia yang
membalas dendam pada pihak yang tidak bersalah sejauh pihak tersebut berkaitan
dengan pihak yang bersalah, atau munculnya undang-undang semacam ini di
Islandia abad ke-10 dan di Montenegro sekitar seabad yang lalu. Perilaku balas
dendam semacam ini dimotivasi bukan oleh prinsip keadilan namun prinsip harga
diri.
Disposisi
Penguasa dikendalikan oleh Masyarakat
Tiga
eksperimen mengenai kekuasaan dilakukan oleh Guinote, Weick, dan Cai (2012)
untuk menguji pengaruh kekuasaan pada disposisi. Disposisi adalah kecenderungan
untuk bertindak dan berpikir dengan cara tertentu. Asumsi umum adalah orang
yang berkuasa memiliki kemampuan mengendalikan sendiri disposisinya. Sejumlah
partisipan diberi peran sebagai manajer atau karyawan biasa. Mereka lalu
terlibat dalam eksperimen.
Pada
eksperimen pertama, para partisipan melakukan permainan kata. Bagi separuh
partisipan, permainan mereka melibatkan kata-kata netral. Separuh lainnya
melibatkan kata-kata anti disposisi (kata-kata yang merupakan lawan dari
disposisi mereka). Kemudian partisipan memilih perilaku yang mereka pandang
penting dalam kasus tertentu. Sebagai contoh, mereka ditanya “Donald bertemu
temannya dan mengatakan kalau temannya bau. Apakah ini jujur atau kasar?” Orang
dengan kekuasaan tinggi menilai berdasarkan disposisinya pada kelompok pertama.
Pada kelompok kedua, oranga dengan kekuasaan tinggi menilai berdasarkan anti
disposisinya. Orang dengan kekuasaan rendah tetap memilih jawaban yang netral.
Dalam
eksperimen kedua, para partisipan diminta memilih sumbangan yang mereka
senangi. Seminggu kemudian, mereka dibagi dua kelompok. Kelompok pertama
menuliskan sumbangan yang mereka senangi pada kertas kosong. Kelompok kedua
memilih sumbangan yang mereka senangi pada sebuah daftar yang telah berisi
pilihan-pilihan. Para manajer ketika mendapat kertas kosong menulis sasaran
sumbangan mereka. Ketika mereka diberi daftar, pilihan awal mereka berubah,
tidak lagi memilih sasaran favorit mereka namun organisasi lain. Orang dengan
kekuasaan rendah tidak berubah pendapat.
Eksperimen
ketiga orang dengan disposisi egois atau kooperatif diminta membagikan token
berharga. Dalam kondisi netral, para penguasa akan betindak sesuai
disposisinya. Ketika kondisi diubah, hal ini tidak lagi terjadi.
Para
ilmuan menyimpulkan kalau para penguasa sesungguhnya bukanlah orang yang
berprinsip. Mereka adalah para oportunis sehingga dipengaruhi oleh masyarakat
ketimbang oleh keinginannya sendiri.
Bilingual
melihat Dunia secara Berbeda
Bahasa
memiliki keluasan makna yang berbeda-beda. Dalam bahasa Jepang, terdapat kata
untuk warna biru muda (mizuiro) dan biru gelap (ao) yang tidak ditemukan dalam
bahasa Inggris. Akibatnya ketika diminta membedakan warna biru, penutur Jepang
lebih mampu membedakan warna biru muda dan biru gelap ketimbang orang Inggris.
Menurut Athanasopoulos et al (2010) yang melakukan studi ini, orang yang fasih
dalam dua bahasa akan lebih mudah memahami warna. Orang Inggris yang fasih
bahasa Jepang memang ternyata lebih mampu membedakan warna biru ketimbang
penutur Inggris yang tidak mengerti bahasa Jepang.
Konsumen
lebih mungkin Membeli Produk yang Simbolik Budaya
Sejumlah
brand seringkali diasosiasikan dengan budayanya. Sony dengan Jepang, Budweiser
dengan AS, dan Corona dengan Meksiko. Sementara itu, sejumlah produk juga
berasosiasi budaya seperti capucino dengan Italia dan Barbeque dengan AS.
Sejumlah
partisipan diamati pilihan mereka untuk membeli produk dengan brand yang
disilangkan dengan simbol budaya berbeda (Torelli dan Ahluwalia, 2011). Sebagai
contoh adalah saus barbeque Budweiser (AS-AS) dan pembuat capucino Sony
(Italia-Jepang). Ternyata para partisipan lebih mungkin membeli produk yang
simbolisme budayanya selaras ketimbang yang tidak selaras. Akibatnya saus
barbeque Budweiser lebih banyak dipilih ketimbang pembuat capucino Sony.
Kebudayaan
Kera Besar
Jika
kebudayaan dicirikan oleh kemampuan untuk belajar secara sosial dan
mewariskannya pada banyak generasi, maka bukan hanya manusia yang memiliki
kebudayaan. Secara umum, kera besar seperti simpanse, gorila, dan orangutan
juga memiliki karakteristik ini. Sepuluh tahun lalu ilmuan menemukan adanya
perbedaan nyata antara pola perilaku kera besar berdasarkan wilayah
geografisnya. Terdapat semacam suku di dalam kera besar dimana setiap suku
memiliki perbedaan perilaku. Studi oleh Krutzen, Willems, dan van Schaik (2011)
menegaskan kembali hal ini pada orang utan. Mereka menganalisis data 100 ribu
jam mengenai perilaku dari 150 orangutan liar di sembilan “suku” orangutan di
Sumatera dan Kalimantan. Lewat analisis statistik dan pencitraan satelit serta
teknik pencitraan jarak jauh, mereka menyimpulkan kalau variasi perilaku yang
ada tidak dapat dijelaskan semata oleh genetika atau lingkungan, namun transfer
pengetahuan yang merupakan ciri budaya juga ikut berperan.
Pengalaman
atas Budaya Lain meningkatkan Kreativitas
Tiga
studi dilakukan pada mahasiswa yang tinggal di luar negeri dan yang tidak
mengenai aspek-aspek kreativitas. Partisipan dalam kebudayaan lain menunjukkan
tingkat kreativitas yang lebih tinggi daripada mahasiswa yang tinggal di dalam
negeri. Hal ini menurut para peneliti (Maddux et al, 2010) karena mahasiswa
yang berhadapan dengan kebudayaan lain berpikiran terbuka sehingga mereka lebih
kreatif.
Kejantanan
meningkatkan Kemungkinan Mati karena Kecelakaan
Kejantanan
diasosiasikan dengan ketangguhan dan keberanian. Dalam budaya dimana masyarakat
menghargai kejantanan, kematian karena kecelakaan lebih sering terjadi. Budaya
yang menghargai kejantanan dicirikan oleh rendahnya sumberdaya alam, bahaya
konflik, dan rendahnya kehadiran polisi. Dalam kebudayaan semacam ini, Barnes,
Brown, dan Tamborksi (2011) menemukan kalau kematian muda karena kecelakaan
(tenggelam, tabrakan, dan sebagainya) terjadi lebih sering daripada di
masyarakat dengan kebudayaan netral.
Globalisasi
memunculkan Nomadisme Global
Nomadisme
dicirikan oleh ketiadaan kepemilikan dimana masyarakat nomad mengembara ke
berbagai lokasi tanpa tempat tinggal tetap. Studi Bardhi, Eckhardt, dan Arnould
(2012) menunjukkan kalau ada sebuah nomadisme global sebagai dampak dari
globalisasi. Wawancara dilakukan pada para nomad global elit. Mereka mengaku
mengembara lebih dari 60% waktunya dalam setahun dan cenderung bekerja dalam
lembaga-lembaga global seperti PBB, IMF, Bank Dunia, dan LSM global. Nomad
global cenderung membentuk keterikatan situasional pada benda, menghargai
benda berdasarkan nilai instrumental, dan menghargai kepemilikan imaterial.
Barang-barang yang mereka miliki cenderung bersifat portabel dan elektronik
seperti e-book dan foto digital. Mereka terbebas dari kewajiban emosional,
sosial, dan fisikal.
Kontribusi
Perkembangan Studi Perilaku Manusia terhadap Perumusan Siasat budaya
Sejumlah
kontribusi dapat diambil sebagai saran bagi penelitian atau perumusan siasat
budaya untuk berbagai konteks. Dalam kasus koeksistensi sunyi sebagai sebuah
sasaran siasat budaya, maka penelitian-penelitian di atas dapat memberikan
sumbangan pertimbangan sebagai berikut:
- Masyarakat tidak memerlukan keadilan untuk masalah pembalasan dendam. Hal ini perlu dipandang sebagai bahaya yang inheren dan telah muncul dalam masyarakat Indonesia seperti pada kasus terorisme. Bom Bali ditujukan pada pihak yang tidak bersalah namun dipandang sah oleh teroris sesuai prinsip harga diri. Untuk memunculkan koeksistensi sunyi, maka bukan sebuah keadilan yang harus dijunjung namun sebuah penghargaan atas eksistensi majemuk masyarakat.
- Disposisi penguasa dikendalikan oleh masyarakat menunjukkan kalau kampanye koeksistensi sunyi harus disebarluaskan sebanyak mungkin. Kesadaran kolektif pada gilirannya akan mendorong penguasa, walaupun otoriter, untuk bersikap oportunis dan mengambil keputusan berdasarkan keinginan rakyat.
- Cakrawala akan meluas ketika bahasa yang dikuasai lebih dari satu. Promosi bahasa harus dipertahankan alih-alih menggunakan sebuah bahasa persatuan. Bahasa dari setiap budaya yang koeksis harus diakui dan dipelajari bersama.
- Simbol-simbol budaya yang koeksis harus diakui dan dijadikan sebuah aset untuk menciptakan modal yang berguna untuk perkembangan ekonomi sekaligus menciptakan kendala bagi pihak luar untuk mengadopsi simbol budaya sebagai bagian dari mereka.
- Penghargaan atas budaya spesies lain selain manusia sebaiknya juga dimunculkan. Hal ini diharapkan memberi tambahan warna bagi masyarakat koeksistensi. Selain membantu studi budaya yang lebih luas, koeksistensi dengan kera besar lainnya, seperti orang utan, dapat membantu manusia lebih menghargai sesama manusia.
- Asimilasi harus didorong alih-alih dikungkung dalam fanatisme budaya. Bentuk otonomi daerah bukan sebuah hal yang baik bagi kreativitas karena membuat pemikiran tertutup dan karenanya menekan kreativitas.
- Ideologi patriarki harus ditekan dengan adopsi feminisme perjuangan (power ethics feminism) ketimbang menggunakan feminisme keibuan (care ethics feminism). Pemberdayaan perempuan bukan lagi dijadikan sebuah wacana koordinasi namun suatu wacana yang menyentuh langsung di bagian terbawah struktur masyarakat.
- Kaum nomad harus diakui dan difasilitasi apalagi kerangka yang digunakan dalam siasat budaya koeksistensi adalah asimilasi dan kesatuan. Sebuah kerangka hukum mengenai peraturan nomadisme harus dibuat untuk menentukan tanggung jawab dan hak mereka.
Kesimpulan
Walaupun
kritik menyebutkan kalau positivisme tidak relevan untuk mengatur
masalah-masalah sosial, sejumlah generalisasi dapat diambil. Dalam hati kecil
kita, kita dapat berkata kalau hubungan yang ada bersifat sebab-akibat dan
determinisme mengatur dunia ini. Dengan adanya perkembangan berkelanjutan dalam
studi-studi perilaku manusia, kita harapkan masa depan kita akan lebih baik dan
siasat budaya dapat dirumuskan. Manusia tidak dapat dihindari lagi telah
membentuk kesadaran budaya yang berpotensi fanatisme. Mau tidak mau orang lain
harus sadar dengan budaya dan lebih jauh membangun sebuah siasat baik untuk
mempromosikan suatu budaya tertentu ataupun mempertahankan budaya yang menurut
mereka berharga, terlepas dari statis atau tidaknya sebuah kebudayaan itu.
Referensi
http://www.faktailmiah.com/2012/06/03/perkembangan-studi-perilaku-manusia-berbasis-positivisme-dan-kontribusinya-bagi-perumusan-siasat-budaya-menuju-koeksistensi-sunyi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar